Selasa, 31 Juli 2007

Hidden Curriculum

Dalam proses pendidikan, para pengajar dituntut untuk mampu melakukan kegiatan yang disebut proses tranformasi, yaitu kegiatan mengubah "sesuatu" yang ada dalam diri peserta didik, menjadi "sesuatu" yang dianggap sebagai hasil atau keluaran dari kegiatan pendidikan.
Biasanya, dalam proses transformasi tersebut akan didapat perubahan yang berupa:
  1. Semula tidak tahu, tidak mengerti, tidak paham menjadi tahu, menjadi mengerti dan paham terhadap sesuatu yang dipelajari
  2. Yang semula tidak mampu melakukan, tidak atau kurang terampil mengerjakan sesuatu menjadi mampu melakukan sesuatu, menjadi terampil mengerjakan suatu pekerjaan tertentu sesuai yang dipelajari tersebut
  3. Semula tidak biasa (berkaitan dengan perilaku), tidak suka, dll. menjadi biasa, menjadi suka, dll.

Contohnya, seorang Guru SD yang bertugas mendidik anak-anak agar mampu membaca tulis, maka tugas utama sang guru adalah merubah Si Murid dari tidak dapat tahu abjad menjadi tahu, mengerti, mampu membedakan, dan mampu memahaminya sampai dengan merangkainya menjadi kata dan kalimat. Juga harus merubah dari tidak dapat menulis menjadi mampu dan terampil menulis, serta dari tidak suka membaca menjadi suka membaca. Jikalau anak setelah sekian lama belajar dan tetap tidak ada perubahan pengetahuan, keterampilan dan perubahan kebiasaannya, pendidikan tersebut dapat dinyatakan gagal.

Masalahnya, dalam proses kegiatan pendidikan, sebagaimana minum obat, ada juga efek samping atau "side effek" yang sering terabaikan oleh kelompok pengajar. Efek samping proses pendidikan inilah yang disebut dengan "hidden Curriculum". Efek samping tersebut baru akan tampak ketika peserta didik terjun di lingkungan masyarakat. Jika efek sampingnya menyolok maka kondisi yang bersangkutan ketika di lingkungan masyarakat akan menyolok pula, demikian pula sebaliknya.

Ada beberapa institusi pendidikan yang menekankan "disiplin keras" pada peserta didiknya, dengan tujuan agar para lulusannya nanti menjadi orang - orang yang tangguh, disiplin tinggi, berani menghadapi berbagai rintangan dengan tegar, tidak takut menghadapi situasi apapun, bertanggung jawab dan lain sebagainya. Dalam pendidikan yang menekankan "disiplin keras" sudah tentu berlaku "hukuman keras" untuk mereka yang dianggap melanggar disiplin. Dalam proses pendidikan seperti itu, tidur dan bangun tidur jelas harus sesuai waktu yang telah ditentukan, mandi sekian menit, berpakaian sekian menit, makan sekian menit, juga masalah baris berbaris dan lari merupakan kegiatan rutin sehari-hari.

Menyenangkan melihat anak-anak muda memiliki disiplin tinggi seperti itu, tetapi .......... kembali masalah hidden kurikulumnya sering terabaikan dan tidak banyak terfikirkan oleh para pendidiknya. Mereka-mereka yang "merasa" memiliki disiplin tinggi karena didikan yang keras merasa atau berpikiran bahwa orang-orang yang tidak seperti dia berarti tidak disiplin. Oleh karenanya mereka kemudian menganggap para YUNIOR yang baru datang adalah kelompok orang-orang yang tidak disiplin dan harus mendapat hukuman keras. Semua orang yang tidak berperilaku seperti dia, dianggapnya tidak disiplin dan mereka pantas dihukum keras. Hidden Curriculum pendidikan keras adalah kekerasan.

Ada banyak cara dalam proses transformasi agar orang menjadi bertanggung jawab, memiliki disiplin tinggi, menjadi tegar, ulet dan mandiri. Pada jaman dulu, guru SR (sekolah rakyat / SD) membawa rotan keliling kelas untuk membuat anak-anak rajin belajar, siapa malas pasti pulang dengan tangan biru kena sabetan rotan Bapak atau Ibu Guru. Seiring dengan perkembangan metodologi pendidikan dan pengetahuan para Guru, rasanya tidak ada lagi Guru membawa rotan dan memukuli anak muridnya, dan nyatanya anak-anak setidaknya tidak kalah pintar dari para SENIORnya dulu.

Para pendidik seyogyanya mencari cara dan strategi yang tepat untuk melaksanakan proses pendidikan, dengan menekan sesedikit mungkin efek samping yang ditimbulkan. Efek samping (hidden curriculum) sejauh ini tidak dapat dihilangkan, hanya dapat dikurangi dan ditekan. Karenanya, sekiranya institusi pendidikan tertentu merasa bahwa kebijakan "pendidikan keras" harus tetap dijalankan, maka para pendidik, para pembina harus berusaha agar efek samping yang timbul tidak sampai "meracuni" anak didik, yang berdampak mengancam kehidupan institusi itu sendiri. Salam.

Minggu, 29 Juli 2007

Mereka Tidak Lagi Butuh Hartamu

Hari - hari terakhir pasti dirasakan sangat berat bagi banyak saudara - saudara kita yang mengalami musibah.
Dari kasus sepatu Nike yang akan berdampak lebih dari sepuluh ribu buruh pabrik sepatu di Tangerang kehilangan pekerjaannya, kasus banjir di Morowali Sulawesi, terbakarnya pasar Turi - Surabaya dan pasar Cipanas, kasus-kasus penggusuran PKL yang tanpa solusi memadai, dan kasus-kasus lain, semuanya dipastikan akan membuat kehidupan mereka menjadi sangat berat dan semakin berat ditengah situasi negara yang mencoba bangkit dari keterpurukannya ini.
Pertanyaannya, apa yang dapat kita lakukan untuk mereka?
Apa kita hanya cukup prihatin dan kemudian melupakannya?
Saat ini mereka hanya perlu uluran tangan dan bantuan materi dari kita. Kita sebenarnya dapat bergandeng tangan membantu meringankan beban mereka dengan memberikan bantuan materi untuk meringankan beban hidup yang dihadapinya saat ini. Rasanya, banyak juga dari kita yang dapat memberikan bantuan kepada mereka dengan cara meminjamkan modal kerja, agar mereka mampu bekerja untuk menghidupi keluarganya. Mereka tidak butuh modal ratusan juta. Bagi mereka, modal sejuta dua juta sudah cukup untuk memulai usaha dagang kecil-kecilan yang akan memberikan untung sepuluh dua puluh ribu, guna menyambung kehidupannya untuk menjemput harapan esok hari.
Ini harus saya sampaikan, karena jika kita lalai dan tidak melakukannya, situasi yang buruk sangat mungkin terjadi. Situasi itu adalah saat dimana kaum papa, para fakir miskin, mereka yang tertindas, tidak lagi membutuhkan uluran tangan kita, tidak lagi butuh dan meminta harta kita, yang mereka minta hanyalah..... CUCURAN DARAH KITA.

Sabtu, 28 Juli 2007

Pengumuman Kelulusan Test Akademik

kemarin siang, Jumat 27 Juli 2007, STPI - Curug mengumumkan hasil test akademik seleksi masuk pendidikan di STPI Curug.
Test ini merupakan tahap satu dari beberapa rangkaian test, sebelum seseorang diijinkan untuk mengikuti diklat di STPI. rangkaian test yang masih harus diikuti antara lain adalah :
  1. test kesamaptaan, yang akan dilaksanakan tanggal 30 dan 31 Juli 2007
  2. test kesehatan, dilaksanakan tanggal 1 dan 2 Agustus 2007
  3. test wawancara, dilaksanakan tanggal 14 dan 15 Agustus 2007
  4. test kesehatan ke dua (khusus untuk yang mendaftar penerbang), pada awal september
  5. test bakat terbang (khusus penerbang) pada bulan Oktober s.d Desember 2007

Untuk yang non penerbang, mereka akan mulai pendidikan pada pertengahan September 2007, sedang untuk yang mendaftar penerbang, baru akan memulai diklat penerbangnya pada awal Januari 2008.

Yang sangat disesalkan pada kondisi seperti ini adalah, banyaknya orang tua yang mencoba untuk memaksakan kehendak agar putra - putrinya dapat masuk pendidikan di STPI, dengan jalan "apapun", sehingga mereka menjadi sasaran empuk orang - orang yang tidak bertanggung jawab, untuk melakukan penipuan kepada mereka.

Modus operandi orang - orang yang tak bertanggung jawab tersebut adalah mencoba mendekati orang tua calon siswa yang sedang was-was, sambil mengatakan bahwa dirinya mampu membantu putra - putri para pendaftar agar dapat masuk pendidikan di STPI. Tarif yang dikenakan untuk tahun ini, rata - rata antara 20 s.d 50 juta dengan skema pembayaran 2 kali, yaitu separuh di awal dan separuhnya lagi setelah nanti masuk diterima di STPI. Uang tersebut tentu saja "menurut orang itu" akan dibagi-bagi ke beberapa pejabat yang dapat menentukan diterima atau tidaknya seseorang mengikuti pendidikan di STPI.

Mereka (para orang tua) yang percaya dengan kata - kata tersebut, akan segera setuju dengan cara itu dan membayar sejumlah uang sesuai perjanjian, dan tertipulah dia!!!

Sebenarnya, dalam penerimaan taruna di STPI, banyak filter yang masing - masing independen, sehingga peluang kolusi sangat - sangat kecil, kalau toh tidak dapat dikatakan tidak ada. Para penipu tersebut, sebenarnya tidak melakukan apa-apa! mereka hanya menunggu, sekiranya anak yang "coba dibantu" itu pandai, lulus seleksi sesuai dengan bakat kemampuannya, mereka dapat uang sesuai perjanjian, kalau anak itu tidak lulus test masuk, yaaah dia toh tidak kehilangan apapun, malah mungkin dapat uang 50% dari perjanjian, dan membuat berbagai macam alasan yang masuk akal kenapa anak yang "dibantunya" gagal test.

Saya selalu katakan kepada para orang tua pendaftar, hati-hati terhadap modus penipuan yang sangat meyakinkan tersebut. Janganlah kita mencoba memaksakan kehendak, dengan cara - cara yang berlebihan, sehingga dampaknya kita kena tipu cukup besar. Tanamkan pada anak-anak kita keyakinan, bahwa keberhasilan yang membawa nikmat hanya dapat diraih dengan usaha yang baik dan cara - cara yang baik. Pemaksaan kehendak, apalagi dengan sogok - menyogok bukanlah cara yang baik untuk memulai langkah yang baik demi masa depan yang baik. Tuhan pasti akan memberikan kepada kita anugerah kebaikan yang kita usahakan melalui cara - cara yang baik. Salam.

Rabu, 18 Juli 2007

Sekolah Unggulan Vs Murid Unggulan

Minggu ini tahun ajaran baru untuk SD, SMP dan SMA sudah dimulai, meskipun untuk mereka yang mau masuk perguruan tinggi, masih harus tahan napas karena proses seleksi masuk perguruan tinggi belum lagi selesai.
Beberapa hari lalu banyak orang tua murid disibukkan untuk mencari sekolah yang bagus - bagus. Mereka berebut agar dapat mendaftarkan dan menyekolahkan putra - putrinya ke sekolah-sekolah yang dianggap bagus tersebut, yang banyak disebut sebagai sekolah unggulan.
Masalahnya sekolah unggulan itu apa?
Apakah sekolah yang hanya mau menerima anak-anak yang unggul, atau sekolah yang mampu merubah anak yang tadinya biasa - biasa saja menjadi anak yang unggul?
Peran sekolah pada dasarnya adalah tempat untuk melakukan tranformasi, sehingga mampu merubah anak manusia dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mampu melakukan "sesuatu" menjadi mampu melakukan "sesuatu", dari tidak biasa menjadi biasa, dari tidak biasa bersama menjadi mampu hidup dan bekerja bersama.
Ketika anak yang mau memasuki sebuah sekolah harus mengikuti test yang berlapis, dengan seleksi yang sangat ketat dan melebihi batas kemampuan wajar (misal, untuk masuk SD di uji bahasa Inggris) maka sekolah tersebut akan menerima anak-anak yang unggul, tetapi sekolahnya sendiri apakah unggul?
Sebaliknya, jika suatu sekolah mau menerima anak-anak yang kemampuannya biasa-biasa saja dan kemudian karena manajemen sekolah yang bagus, mereka mampu mengubah anak - anak tadi menjadi berkualitas unggul, sekolah mana sebenarnya yang sekolah unggulan?
Saya bersyukur, anak-anak saya telah melampaui tahap rebutan sekolah unggulan tersebut, namun selama ini mereka sekolah di sekolah-sekolah yang biasa-biasa saja, biayanya tidak mahal-mahal, gurunya sederhana, tetapi ternyata mereka mampu menjadi orang-orang yang mandiri dan saya bangga jadi orang tua mereka. Salam