Rabu, 05 Desember 2007

Badai Ekonomi dan Misteri Subsidi

SEBAGIAN besar dari kita telah memahami betapa pembangunan nasional sangat ditentukan oleh naik-turunnya harga minyak. Soal minyak telah menjadi agenda paling puncak dalam perjalanan pembangunan bangsa.
Ada saat-saat kita melihat kenaikan harga minyak sebagai berkat, tetapi ada kalanya kita menilai kenaikan ini sebagai laknat. Namun, mungkin hanya sebagian kecil dari kita yang menyadari, bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, sejak pemberlakuan UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan berbagai peraturan yang mengacu pada UU tersebut—yang sebenarnya oleh Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945—ekonomi nasional terasa semakin rentan terhadap gejolak ekonomi eksternal.
Dari kaca mata yang berbeda, kata "rentan" bisa saja ditafsirkan sebagai "lentur". Apa pun,dan dari sudut mana saja penafsiran diberikan, ekonomi nasional semakin terintegrasi ke dalam dinamika ekonomi global. Pencapaian-pencapaian ekonomi makro yang selama ini banyak diberitakan, dengan mudah dicari penyebabnya pada apa yang terjadi pada lingkungan eksternal.
Sebagai misal, nilai rupiah yang stabil terjadi karena memang mata uang dolar sedang mengalami pelemahan. Ekspor dan cadangan devisa naik, karena harga-harga komoditas perkebunan dan pertambangan mengalami kenaikan.
Dinamika ekonomi global inilah yang membuat harga-harga minyak yang kita konsumsi ditentukan oleh mekanisme pasar yang terjadi di New York (New York Merchantile Exchange atau NYMEX).Kondisi ini yang membuat pemerintah menaikkan harga BBM rata-rata 126% pada Oktober 2005. Luar biasa, harga-harga yang harus dibayar oleh penduduk dari sebuah negara dengan pendapatan per kapita sekitar USD1.500 sama dengan penduduk negara lain yang pendapatannya puluhan kali lebih besar.
Inilah prinsip "harga sama di seluruh penjuru dunia" (the law of one price). Kini, ketika harga minyak mentah mendekati angka USD100 per barel, kita dibuat sibuk setengah mati. Dunia usaha disibukkan dengan upaya bertahan di tengah badai kenaikan biaya energi. Mereka yang sudah terlanjur menandatangani kontrak ekspor dengan estimasi harga lama dipaksa untuk melakukan penghematan di seluruh segi.
Produsen yang tidak terikat kontrak dengan segera meneruskan kenaikan tersebut pada harga jual yang dibayar oleh konsumen. Pemerintah,dalam upaya mengamankan APBN 2008,bahkan telah mengeluarkan sembilan jurus pengamanan, yaitu penggunaan dana cadangan APBN, efisiensi belanja, pemanfaatan dana kelebihan di daerah, penajaman prioritas belanja, penurunan konsumsi dan peningkatan produksi BBM, efisiensi Pertamina dan PLN,optimalisasi perpajakan dan dividen BUMN, penerbitan surat berharga negara,dan insentif bagi sektor riil.
Dalam menanggapi kenaikan harga minyak, sejumlah pejabat negara memberikan tanggapan atau analisis yang simpang siur. Petinggi di Departemen Keuangan seperti Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu cenderung mengatakan dampak kenaikan tersebut positif dan menguntungkan. Selama minyak yang diekspor lebih besar dibandingkan yang diimpor,maka kelebihan penerimaan selalu dapat menutupi kebutuhan subsidi BBM.
Pejabat lain, terutama kalangan DPR, begitu risau dan mengkhawatirkan APBN akan jebol. Kesimpangsiuran juga terjadi pada besaran angka surplus anggaran apabila terjadi kenaikan harga minyak. Pejabat Ditjen Migas Departemen ESDM menyebut, setiap kenaikan harga minyak mentah dunia USD1 per barel akan mendatangkan surplus bersih sekitar Rp190 miliar, sementara dalam Nota Keuangan Agustus 2007 disebut angka sekitar Rp55 miliar.
Kemudian Menkeu menyebut angka sekitar Rp30-50 miliar. Bila kita simak lebih cermat, sampai hari ini angka-angka akurat untuk berapa besar biaya produksi BBM (seperti bensin atau solar) masih belum jelas.Angka perkiraan besaran subsidi BBM dan defisit dalam APBN 2008 juga masih simpang siur. Publik hanya membaca penjelasan yang rumit dan sering tidak konsisten.
Salah seorang ekonom yang paling rajin mempertanyakan ihwal subsidi adalah Kwik Kian Gie. Dalam puluhan tulisannya,Kwik mempertanyakan, apakah istilah yang tepat itu "subsidi" atau "opportunity lost"? Dalam perhitungannya, biaya produksi bensin, yang terdiri dari biaya penyedotan,pengilangan dan transportasi ke pompa-pompa bensin, hanya sekitar USD10 per barel (159 liter),atau sekitar Rp630 per liter apabila digunakan patokan kurs USD1= Rp10.000.
Dengan demikian, yang dinamakan "subsidi" sebenarnya hanyalah sebuah teknik pembukuan semata. Bukan dalam arti pengeluaran arus kas, karena harga yang dibayar konsumen BBM di dalam negeri sudah berada jauh di atas biaya produksinya. Inilah yang menyebabkan mengapa Wapres Jusuf Kalla pernah mengatakan bahwa meski harga minyak dunia sampai angka USD100 per barel, pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM.
Bahkan perwakilan IMF di Jakarta mengatakan, kalau harga minyak naik, maka pemerintah memiliki kekayaan tunai dalam jumlah besar (cash rich). Jadi, masalah sesungguhnya bagi kita adalah bagaimana tetap mempertahankan produksi (lifting) minyak dalam jumlah yang selalu lebih besar dibandingkan jumlah yang dikonsumsi. Selama kondisi ini bisa dijaga, kita tak perlu khawatir.
Keuntungan kita akan lebih besar apabila minyak yang kita hasilkan,yang mutunya dinilai lebih tinggi, kita ekspor dan hasilnya kita gunakan untuk mengimpor minyak yang lebih murah karena mutunya sedikit lebih rendah. Soal besar-kecilnya subsidi sebenarnya tergantung pada apakah pemerintah akan sepenuhnya menggeser kenaikan harga minyak di pasar dunia ke para konsumen di dalam negeri atau tidak.
Pernyataan Wapres Jusuf Kalla menyiratkan bahwa pemerintah tidak akan tega menggeser semua beban kepada masyarakat dan mungkin telah menyadari bahwa subsidi tidak identik dengan pengeluaran uang tunai.Tentu soalnya akan menjadi lain bila ada keyakinan bahwa harga yang harus dibayar penduduk sebuah negara miskin mesti harus sama dengan yang dibayar oleh penduduk sebuah negara kaya.
Dalam globalisasi,warga sebuah negara miskin tampaknya harus membayar mahal untuk apa pun yang dikonsumsinya.
The poor pay a premium for everything, begitu kata CK Prahalad (2005). Yang miskin selain memang telah kalah juga dituntut untuk terus selalu mengalah.(*)

Penulis, Direktur Program Pascasarjana dan Program Doktor IBII, Jakarta.
PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PHD*

Sabtu, 01 Desember 2007

Nikmatnya Hidup Di Indonesia

Hari ini kami ber lima belas, team dari STPI yang dipimpin ketua STPI, berada di Toronto - Kanada setelah sejak lima hari yang lalu berada di Quebeq City, untuk training peralatan baru yang di beli STPI.
Peralatan yang dibeli STPI untuk mendukung kegiatan diklat jurusan teknik, nanti kita bahas lebih lanjut.
Kali ini saya ingin membahas betapa nikmatnya hidup di Indonesia.
Memang, ekonomi Kanada dan kehidupan penduduknya jauh diatas kita, tetapi alam yang mereka hadapi whaduuh........... bukan main kerasnya.
Saat kami datang di Quebeq City, suhu berkisar minus 5 sampai minus 10 derajat celcius. Itu masih bagus, karena kalau kami datang bulan Desember atau Januari kelak, suhu dapat berkisar antara minus 20 sampai minus 30 derajat.
Saat ini, salju berkisar 30 cm tetapi nanti bulan depan dapat setinggi 3 meter lebih. Dan itu dapat berlangsung selama 2 atau 3 bulan.
Buat kami yang datang dari Indonesia dan tinggal selama seminggu di Quebeq, hal itu menyenangkan karena dapat pengalaman baru, bisa merasakan dinginnya salju, dapat merasakan dinginnya jalan kaki kehujanan salju, tetapi ........... kalau harus hidup seperti penduduk Quebeq, alamaaak, maaf saja lah.
Yang saya kagumi ternyata .......... dengan kondisi yang begitu keras, mereka justru giat bekerja, sangat produktif dan mampu berkarya secara efektif dan efisien, sehingga kehidupan mereka menjadi maju.
Nah ......... bagaimana dengan kita di Indonesia?
Indonesia dibanding dengan Canada secara umum, jauh lebih indah, jauh lebih nyaman, alamnya jauh lebih bersahabat dan memberikan banyak kemudahan.
Mereka bangga dengan Niagara Falls, kita punya banyak sekali air terjun, pemandangan alam, sungai-sungai yang mengalir dengan indah, pemandangan alam yang sangat menakjubkan dari Sabang sampai Merauke.
Ah ........ Indonesia memang surga, dan saya bangga menjadi penduduknya.