Rabu, 04 Maret 2009

Perlindungan Hukum Terhadap ATC Indonesia

Pada tanggal 23 Februari 2009, pukul 12.14 UTC (19.14 wib), pesawat Lion Air LNI-972 type MD-90 registrasi pesawat PK-LIO rute penerbangan Medan - Batam melakukan pendaratan di Bandara Hang Nadim Batam, tanpa roda depan, karena roda tidak dapat dikeluarkan baik secara otomatis maupun manual.
Seluruh penumpang 156 orang (148 dewasa dan 8 anak-anak) beserta 2 orang pilot dan 4 cabin crew, selamat. Alhamdulillah.
Masalahnya, tanggal 27 - 2 - 2009, saya dapat info dari Sekjen IATCA, bahwa telah beredar transkrip (istilahnya : rekaman pembicaraan) antara pilot dengan ATC di ruang publik. Saya sangat bersyukur dan menghargai Bung Kristanto selaku Sekjen IATCA yang langsung menghubungi saya. Hal tersebut saya anggap mengindikasikan bahwa pertemanan kami, hubungan kami yang di Subdit Manajemen Lalu Lintas Penerbangan dan rekan-rekan IATCA dapat berjalan sebagaimana diharapkan, sehingga jika terjadi apa saja yang dianggap mengganggu atau membahayakan ATC Indonesia, dapat segera ditangani secara bersama.
Dari sisi MLLP kami dapat jelaskan bahwa :
  1. Team MLLP telah melakukan investigasi terhadap pelayanan ATC Batam dalam kasus pendaratan pesawat Lion Air tersebut, dan tidak menemukan adanya penyimpangan prosedur yang dilakukan ATC. ATC telah melakukan tugas dan fungsinya secara profesional, dengan menjalankan berbagai prosedur yang seharusnya dilakukan oleh ATC.
  2. Kami juga memiliki transkrip komunikasi ATC - pilot sejak pkl. 10.36 UTC s.d pkl. 12.14 UTC saat pesawat LNI 972 mendarat, crash bell berdering dan sirene dibunyikan. Namun, fakta menunjukkan bahwa komuniasi sebagaimana beredar di ruang publik tersebut, ternyata sangat berbeda dan tampak sekali bahwa hal tersebut adalah rekayasa, entah apa maksudnya!
  3. Transkrip komunikasi yang beredar itu, sungguh tidak mencerminkan peran ATC dalam menangani situasi emergency. Dan saya, sebagai team di Subdit MLLP maupun dosen ATC di STPI sangat tidak percaya dengan isi percakapan dalam transkrip yang beredar tersebut, karena menurut pendapat saya, ATC Indonesia paling bodoh pun (seandainya ini ada) tidak akan melakukan komunikasi dalam bentuk seperti itu. Transkrip komunikasi tersebut nampak direkayasa, melalui komunikasi imaginer orang yang tidak memahami komunikasi dan mekanisme pelayanan lalu lintas penerbangan, dan karenanya tidak perlu ditanggapi dengan cara saling curiga dan tuduh menuduh yang pada ujung-ujungnya perpecahan diantara sesama ATC.
Dalam konteks kejadian ini, saya juga prihatin jika ada orang-orang yang kemudian menyebar rumor bahwa ATC Indonesia tidak diperhatikan Pemerintah ; ATC Indonesia tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai ; ATC Indonesia resah, dll.
Ini adalah rumor yang coba disebar tanpa dasar, tanpa fakta, mengada-ada, dan entah apa maksud di balik pernyataan tersebut.
Bukan hanya karena saya ada di lingkungan pemerintah, tetapi saya sebagai orang yang banyak berkecimpung di lingkungan ATC mencoba untuk berfikir dan bersikap kritis dan obyektif, dan karena sebagai umat beragama oleh Allah swt saya diperintahkan untuk berbuat adil kepada siapa saja, maka saya ingin menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Pemerintah Indonesia bersama DPR - RI telah berhasil membuat UU penerbangan (UU no. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan) yang sangat komprehensif. Didalam undang-undang tersebut, banyak butir yang nyata-nyata menetapkan program keselamatan penerbangan, program budaya tindak keselamatan yang mengacu pada standard ICAO.
  2. Dalam UU ini juga memuat peraturan keselamatan penerbangan, sistem pelaporan keselamatan, analisis data dan informasi keselamatanpromosi keselamatan, pengawasan keselamatan, dan lain-lain. Yang dalam banyak hal diarahkan untuk melindungi ATC (jika bicara ATC) dari eksploitasi, pencegahan dari tindak kesalahan atau kelalaian dalam bertugas, pengabaian atas hak-haknya, dll.
  3. Menteri Perhubungan juga telah mengesahkan Peraturan Menhub berupa CASR (untuk ATC ada CASR 69 dan 170 serta 172 dll). Dalam CASR ini juga sangat jelas usaha Pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum bagi ATC yang sedang melaksanakan tugas, berupa kepastian-kepastian hukum dalam menjalankan tugas profesinya.
  4. Dirjen Perhubungan Udara juga telah mengeluarkan Peraturan Dirjen Hubud berupa Staff Instruction (SI) dan Advisory Circular (AC) yang disana juga dengan jelas menuntun dan mengarahkan kita (ATC Indonesia) bagaimana agar mereka dalam menjalankan tugas dan fungsinya dapat terhindar dari kesalahan - kesalahan yang merugikan diri ATC tersebut secara pribadi, yang dapat merugikan masyarakat penerbangan, bangsa dan negara RI.
  5. ICAO dan Uni Eropa, secara fakta juga mendukung dan mendorong Pemerintah Indonesia untuk membuat peraturan-peraturan penerbangan yang terkait dengan pelayanan lalu lintas penerbangan - dan ini sudah dilakukan dan terus akan ditingkatkan - dan mereka sangat mendukung usaha-usaha tersebut.
Dari berbagai aturan tersebut diatas, sangat tidak beralasan jika Pemerintah dianggap tidak melindungi ATC Indonesia.
Kepastian hukum, merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat. Dengan kepastian tersebut, masyarakat menjadi tahu mana atau apa-apa yang menjadi haknya, apa-apa yang harus dihindari, apa-apa yang tidak boleh dilakukan, karena dapat berbahaya dan membahayakan dirinya, orang lain, pengguna jasa penerbangan dll.
Kami di Direktorat Navigasi Penerbangan Ditjen Hubud, khususnya di MLLP (karena focus kita ATC), dalam diskusi dan rapat-rapat bersama ATS Provider ((AP 1 ; AP 2 maupun UPT Ditjen Hubud) selalu memperjuangkan ATC Indonesia agar mereka dapat bekerja sesuai peran dan fungsinya secara profesional.
Akhirnya, saya mengajak rekan-rekan ATC Indonesia untuk :
  1. Bekerja sama menjunjung nilai-nilai profesionalisme ATC, bekerja secara profesional sesuai standard profesi yang telah ditetapkan dalan CASR, SI maupun AC yang ada, sehingga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (ambillah contoh kasus kejadian Batam tersebut diatas, maupun yang lain-lain lagi) ATC Indonesia tidak menjadi tumpuan kesalahan.
  2. Mengabaikan rumor-rumor atau usaha-usaha yang mencoba memecah belah ATC Indonesia untuk kepentingan-kepentingan yang tidak jelas tujuannya, agar kita dapat secara focus pada tugas-tugas ATC maupun tugas-tugas tambahan lainnya dari pimpinan
  3. Mendukung pemerintah dalam mewujudkan kualitas ATC Indonesia yang profesional melalui program-program yang telah direncanakan
  4. Memberikan masukan pada Pak Dirjen Hubud atau Pak Direktur Navigasi Penerbangan tentang apa saja yang perlu dilakukan agar ATC Indonesia Jaya di Udara, Jaya di Bandara dan Jaya di kancah percaturan dunia. Biarkan ATC Indonesia jadi ATC di Brunei, ATC di Timur Tengah, ATC di mana saja, karena memang mereka profesional, berstandard Internasional namun tetap berkepribadian Indonesia yang tak lekang oleh kerasnya badai global.
Salam dari kami team MLLP
Lantai 23
Medan Merdeka Barat 08