Selasa, 01 Oktober 2013
Tantangan AirNav Indonesia
September ini, tepatnya pada tanggal 13 September 2013 yang lalu, genap satu tahun keberadaan Perum LPPNPI terhitung sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia atau yang lebih dikenal dengan nama AirNav Indonesia.
Sesuai amanat dalam UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, pengelolaan pelayanan navigasi penerbangan harus dipisahkan dari pengelolaan Bandar Udara, sehingga AirNav Indonesia mengemban tugas dan tanggung jawab untuk fokus melaksanakan pelayanan navigasi penerbangan di seluruh wilayah ruang udara Indonesia guna menjamin pemberian pelayanan yang selamat, teratur dan efisien.
Tugas dan tanggung jawab AirNav Indonesia tidaklah ringan mengingat Indonesia memiliki tingkat kebutuhan dan permintaan terhadap jasa transportasi udara yang cukup besar. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut saat ini terjadi ekspansi dan pertumbuhan maskapai penerbangan yang sangat pesat. Indikator pertumbuhan tersebut dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah pergerakan pesawat akibat penambahan jumlah armada, penambahan rute dan jadwal penerbangan secara signifikan.
Berdasarkan data, pergerakan lalu lintas pada ruang udara di wilayah timur Indonesia yang dilayani oleh Pusat Pelayanan Lalu Lintas Penerbangan Makassar (MATSC) pada tahun 2012 tumbuh 10.8 % dan keseluruhan traffic nasional yang dilayani sudah mencapai 1 juta traffic/tahun. Bahkan rute penerbangan Jakarta-Surabaya-Denpasar mengalami pertumbuhan sangat tinggi dan dalam tiga tahun terakhir mencapai 12 persen per tahun menjadi rute terpadat kelima dunia.
Lihatlah kesibukan AirNav Indonesia dalam melayani kegiatan lebaran tahun 2013 yang lalu. Selama kurun waktu H-7 s.d H+6, dari 25 bandara besar yang dilayani, AirNav Indonesia melayani total 48.893 pergerakan, terdiri atas 21.986 take off dan 21.655 landing.
Untuk bandara Soekarno Hatta saja, rata-rata per hari melayani 1.200 pesawat take off dan landing, dimana rata-rata per jam mencapai 70-an pesawat yang take off dan landing.
Beberapa bandara lainnya, seperti Juanda – Surabaya, Ngurah Rai – Bali, Sepinggan – Balikpapan, dll. Juga mengalami hal yang sama, over capacity.
Dampak dari kondisi over capacity tersebut, tentu saja sangat merepotkan semua pihak terkait.
Pilot yang terbang memasuki wilayah Jakarta, harus mengantri panjang dalam waktu yang cukup lama saat akan berangkat, dan harus holding (terbang berputar-putar menunggu giliran untuk mendarat) saat melakukan pendekatan untuk mendarat ke Bandara Soetta. Sudah tentu, kondisi ini akan membakar bahan bakar lebih banyak, yang berarti biaya operasional membengkak.
Bagi penumpang, lama perjalanan menjadi tidak menentu, karena antrean dapat memakan waktu dari bilangan puluhan menit bahkan sampai bilangan jam, yang berarti bisnis terganggu.
Bagi Crew AirNav Indonesia yang bertugas memberikan layanan, kondisi seperti ini juga sangat memberatkan. Mengatur puluhan pesawat dengan kecepatan tinggi di udara pada waktu bersamaan, yang terus bergerak maju, dan semuanya ingin mendapatkan pioritas, sungguh suatu kondisi yang menuntut konsentrasi tinggi, ketelitian, serta mental yang kuat.
Banyak pihak berusaha menekan para Pemandu Lalu Lintas Penerbangan baik melalui telephone maupun berita miring via media massa, seolah para petugas tersebut tak mampu bekerja secara profesional, cepat, cermat dan cekatan!
Perlu dipahami, bahwa kelancaran dan efisiensi kegiatan operasi penerbangan tidak hanya dipengaruhi oleh pelayanan navigasi penerbangan, tetapi juga faktor – faktor lain seperti kapasitas runway, konfigurasi taxiway, kapasitas apron juga fasilitas penunjang lainnya.
Pesatnya pertumbuhan pergerakan lalu lintas penerbangan pada kenyataannya juga kurang diimbangi oleh ketersediaan infrastruktur bandara sebagai tempat melayani kegiatan lalu lintas pesawat penerbangan dan penumpang.
Ketidak-seimbangan kondisi tersebut seringkali mengakibatkan terganggunya operasional penerbangan yang berujung pada terjadinya penundaan penerbangan, pembatalan penerbangan dan penumpukan penumpang di ruang terminal bandara, hingga permasalahan berupa adanya maskapai yang berebut terbang saat “golden time”, baik saat pagi maupun pada sore hari.
Dalam berbagai keterbatasan infrastruktur bandara tersebut, AirNav Indonesia berusaha menjaga dan meningkatkan standard keselamatan serta kualitas pelayanan navigasi penerbangan, agar kegiatan operasi penerbangan dapat berlangsung secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang maksimal dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.
Yang perlu digaris bawahi, bahwa AirNav Indonesia dalam memberikan pelayanan navigasi penerbangan tetap harus mengacu kepada standard dan prosedur yang berlaku secara nasional, maupun internasional.
Tantangan AirNav Indonesia kedepan tentu saja mewujudkan harmonisasi antara efisiensi, efektifitas dan tingkat keselamatan penerbangan yang ditunjukkan dengan terciptanya keadaan dimana prosedur keselamatan dalam memberikan pelayanan navigasi penerbangan serta peningkatan kualitas pelayanan navigasi penerbangan mampu menurunkan rasio serius insiden, mampu mengeliminasi dan memitigasi “hazards” yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan, serta mampu meningkatkan kepuasan pengguna jasa.
Untuk selanjutnya, langkah – langkah proaktif dan kolaborasi dengan pihak terkait harus dilakukan secara berkesinambungan, dalam rangka mengantisipasi ketidakseimbangan antara jumlah pesawat udara yang beroperasi dengan ketersediaan serta kesiapan infrastruktur bandar udara seiring dengan perkembangan industri penerbangan sipil nasional yang semakin pesat.
AirNav Indonesia dan pengelola bandar udara di Indonesia perlu bekerja sama meningkatkan efisiensi kinerja, melaksanakan peningkatan pelayanan dan menyusun metode kerja untuk mengoptimalkan pelayanan navigasi penerbangan dan bandara di Indonesia, agar dapat menjadi model infrastruktur yang berkelanjutan berkelas dunia. [wdtu]
Langganan:
Postingan (Atom)