Selasa, 21 April 2009

Menyambut Munas ke IV ATC Indonesia

Kata teman-teman yang sempat bercerita ke saya, pada bulan Oktober 2009 yang akan datang, di Bali akan diadakan Munas ke IV IATCA serta pemilihan pengurus untuk periode 2009 - 2012.
Bagi sebuah organisasi dan juga bagi seluruh anggota organisasi, kegiatan Munas tersebut sangat menarik perhatian dan perlu dicermati secara serius, agar keberadaan organisasi profesi ini mampu memberikan nilai-nilai positif bagi peningkatan profesionalisme, memberikan perlindungan dan pengayoman yang selayaknya bagi para anggotanya serta mampu menjadi mitra kerja yang baik bagi stake-holdernya.
Semua anggota seharusnya dapat diminta untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan Munas tersebut, meskipun nantinya yang datang dalam Munas adalah wakil-wakilnya saja, tetapi pemikiran dan aspirasi anggota seharusnya dapat terwadahi dan dibahas dalam Munas secara tuntas.
Kalau memang benar Munas akan dilaksanakan di bulan Oktober, itu berarti tinggal 5 bulan lagi. Normalnya, kegiatan hitung mundur harus sudah dimulai, agar kegiatan ini dapat menjadi kegiatan hajatannya ATC se Indonesia yang khidmat, yang meriah dan mampu memberikan makna dalam memasarkan eksistensi ATC Indonesia di masyarakat pada umumnya.
Inventarisasi masalah-masalah strategis yang dihadapi ATC Indonesia, harusnya sudah terkumpul atau mulai dikumpulkan. Peluang-peluang yang terbentang di hadapan kita, seyogyanya sudah terpetakan atau mulai dipetakan dengan jelas. Dengan demikian, program kerja pengurus periode 2009 - 2012 dapat ditawarkan ke para anggota sejak awal, untuk dikritisi, dibahas dan di diskusikan secara mendalam.
Adalah tugas rekan-rekan yang ingin masuk bursa "ATC 1" untuk mulai menyampaikan program-program real mereka secara terbuka, pemikiran-pemikiran dan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk membawa ATC indonesia ke arah dan kondisi yang lebih baik secara terukur, agar pemilihan Petinggi ATC ini dapat berlangsung secara cerdik.
Jika ini dapat dikembangkan dalam budaya organisasi IATCA, saya sangat yakin, pemilihan orang nomor satu di lingkungan ATC Indonesia ini akan berlangsung secara rasional, bukan emosional semata.
Ijtihat, istikharah, mohon petunjuk kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa dalam memilih figur pemimpin yang baik memang perlu, tetapi itu hanya boleh dilakukan setelah kita mempelajari semua seluk beluk calon pemimpin kita secara mendalam dan menimbang-nimbangnya dalam matriks yang obyektif yang sedapat mungkin kuantitatif. Penyerahan mendalam kepada ketentuan Allah hanya boleh dilakukan sebagai penutup / di akhir usaha kita yang telah dilakukan secara total dan habis-habisan.

Rabu, 04 Maret 2009

Perlindungan Hukum Terhadap ATC Indonesia

Pada tanggal 23 Februari 2009, pukul 12.14 UTC (19.14 wib), pesawat Lion Air LNI-972 type MD-90 registrasi pesawat PK-LIO rute penerbangan Medan - Batam melakukan pendaratan di Bandara Hang Nadim Batam, tanpa roda depan, karena roda tidak dapat dikeluarkan baik secara otomatis maupun manual.
Seluruh penumpang 156 orang (148 dewasa dan 8 anak-anak) beserta 2 orang pilot dan 4 cabin crew, selamat. Alhamdulillah.
Masalahnya, tanggal 27 - 2 - 2009, saya dapat info dari Sekjen IATCA, bahwa telah beredar transkrip (istilahnya : rekaman pembicaraan) antara pilot dengan ATC di ruang publik. Saya sangat bersyukur dan menghargai Bung Kristanto selaku Sekjen IATCA yang langsung menghubungi saya. Hal tersebut saya anggap mengindikasikan bahwa pertemanan kami, hubungan kami yang di Subdit Manajemen Lalu Lintas Penerbangan dan rekan-rekan IATCA dapat berjalan sebagaimana diharapkan, sehingga jika terjadi apa saja yang dianggap mengganggu atau membahayakan ATC Indonesia, dapat segera ditangani secara bersama.
Dari sisi MLLP kami dapat jelaskan bahwa :
  1. Team MLLP telah melakukan investigasi terhadap pelayanan ATC Batam dalam kasus pendaratan pesawat Lion Air tersebut, dan tidak menemukan adanya penyimpangan prosedur yang dilakukan ATC. ATC telah melakukan tugas dan fungsinya secara profesional, dengan menjalankan berbagai prosedur yang seharusnya dilakukan oleh ATC.
  2. Kami juga memiliki transkrip komunikasi ATC - pilot sejak pkl. 10.36 UTC s.d pkl. 12.14 UTC saat pesawat LNI 972 mendarat, crash bell berdering dan sirene dibunyikan. Namun, fakta menunjukkan bahwa komuniasi sebagaimana beredar di ruang publik tersebut, ternyata sangat berbeda dan tampak sekali bahwa hal tersebut adalah rekayasa, entah apa maksudnya!
  3. Transkrip komunikasi yang beredar itu, sungguh tidak mencerminkan peran ATC dalam menangani situasi emergency. Dan saya, sebagai team di Subdit MLLP maupun dosen ATC di STPI sangat tidak percaya dengan isi percakapan dalam transkrip yang beredar tersebut, karena menurut pendapat saya, ATC Indonesia paling bodoh pun (seandainya ini ada) tidak akan melakukan komunikasi dalam bentuk seperti itu. Transkrip komunikasi tersebut nampak direkayasa, melalui komunikasi imaginer orang yang tidak memahami komunikasi dan mekanisme pelayanan lalu lintas penerbangan, dan karenanya tidak perlu ditanggapi dengan cara saling curiga dan tuduh menuduh yang pada ujung-ujungnya perpecahan diantara sesama ATC.
Dalam konteks kejadian ini, saya juga prihatin jika ada orang-orang yang kemudian menyebar rumor bahwa ATC Indonesia tidak diperhatikan Pemerintah ; ATC Indonesia tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai ; ATC Indonesia resah, dll.
Ini adalah rumor yang coba disebar tanpa dasar, tanpa fakta, mengada-ada, dan entah apa maksud di balik pernyataan tersebut.
Bukan hanya karena saya ada di lingkungan pemerintah, tetapi saya sebagai orang yang banyak berkecimpung di lingkungan ATC mencoba untuk berfikir dan bersikap kritis dan obyektif, dan karena sebagai umat beragama oleh Allah swt saya diperintahkan untuk berbuat adil kepada siapa saja, maka saya ingin menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Pemerintah Indonesia bersama DPR - RI telah berhasil membuat UU penerbangan (UU no. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan) yang sangat komprehensif. Didalam undang-undang tersebut, banyak butir yang nyata-nyata menetapkan program keselamatan penerbangan, program budaya tindak keselamatan yang mengacu pada standard ICAO.
  2. Dalam UU ini juga memuat peraturan keselamatan penerbangan, sistem pelaporan keselamatan, analisis data dan informasi keselamatanpromosi keselamatan, pengawasan keselamatan, dan lain-lain. Yang dalam banyak hal diarahkan untuk melindungi ATC (jika bicara ATC) dari eksploitasi, pencegahan dari tindak kesalahan atau kelalaian dalam bertugas, pengabaian atas hak-haknya, dll.
  3. Menteri Perhubungan juga telah mengesahkan Peraturan Menhub berupa CASR (untuk ATC ada CASR 69 dan 170 serta 172 dll). Dalam CASR ini juga sangat jelas usaha Pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum bagi ATC yang sedang melaksanakan tugas, berupa kepastian-kepastian hukum dalam menjalankan tugas profesinya.
  4. Dirjen Perhubungan Udara juga telah mengeluarkan Peraturan Dirjen Hubud berupa Staff Instruction (SI) dan Advisory Circular (AC) yang disana juga dengan jelas menuntun dan mengarahkan kita (ATC Indonesia) bagaimana agar mereka dalam menjalankan tugas dan fungsinya dapat terhindar dari kesalahan - kesalahan yang merugikan diri ATC tersebut secara pribadi, yang dapat merugikan masyarakat penerbangan, bangsa dan negara RI.
  5. ICAO dan Uni Eropa, secara fakta juga mendukung dan mendorong Pemerintah Indonesia untuk membuat peraturan-peraturan penerbangan yang terkait dengan pelayanan lalu lintas penerbangan - dan ini sudah dilakukan dan terus akan ditingkatkan - dan mereka sangat mendukung usaha-usaha tersebut.
Dari berbagai aturan tersebut diatas, sangat tidak beralasan jika Pemerintah dianggap tidak melindungi ATC Indonesia.
Kepastian hukum, merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat. Dengan kepastian tersebut, masyarakat menjadi tahu mana atau apa-apa yang menjadi haknya, apa-apa yang harus dihindari, apa-apa yang tidak boleh dilakukan, karena dapat berbahaya dan membahayakan dirinya, orang lain, pengguna jasa penerbangan dll.
Kami di Direktorat Navigasi Penerbangan Ditjen Hubud, khususnya di MLLP (karena focus kita ATC), dalam diskusi dan rapat-rapat bersama ATS Provider ((AP 1 ; AP 2 maupun UPT Ditjen Hubud) selalu memperjuangkan ATC Indonesia agar mereka dapat bekerja sesuai peran dan fungsinya secara profesional.
Akhirnya, saya mengajak rekan-rekan ATC Indonesia untuk :
  1. Bekerja sama menjunjung nilai-nilai profesionalisme ATC, bekerja secara profesional sesuai standard profesi yang telah ditetapkan dalan CASR, SI maupun AC yang ada, sehingga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (ambillah contoh kasus kejadian Batam tersebut diatas, maupun yang lain-lain lagi) ATC Indonesia tidak menjadi tumpuan kesalahan.
  2. Mengabaikan rumor-rumor atau usaha-usaha yang mencoba memecah belah ATC Indonesia untuk kepentingan-kepentingan yang tidak jelas tujuannya, agar kita dapat secara focus pada tugas-tugas ATC maupun tugas-tugas tambahan lainnya dari pimpinan
  3. Mendukung pemerintah dalam mewujudkan kualitas ATC Indonesia yang profesional melalui program-program yang telah direncanakan
  4. Memberikan masukan pada Pak Dirjen Hubud atau Pak Direktur Navigasi Penerbangan tentang apa saja yang perlu dilakukan agar ATC Indonesia Jaya di Udara, Jaya di Bandara dan Jaya di kancah percaturan dunia. Biarkan ATC Indonesia jadi ATC di Brunei, ATC di Timur Tengah, ATC di mana saja, karena memang mereka profesional, berstandard Internasional namun tetap berkepribadian Indonesia yang tak lekang oleh kerasnya badai global.
Salam dari kami team MLLP
Lantai 23
Medan Merdeka Barat 08

Jumat, 30 Januari 2009

Tentang Penunjukan Arah (Serial Pengetahuan Navigasi

Konsep Penunjukan Arah
Pada saat kita membahas tentang bumi, sekilas kita bahas tentang cardinal direction, yaitu arah timur (east) ; barat (west) ; selatan (south) dan utara (north) serta quadrantal direction, yaitu arah arah diantara dua cardinal direction tersebut diatas, misal barat daya (southwest) ; tenggara (southeast) dan seterusnya.
Pada kegiatan navigasi, penentuan arah harus lebih akurat dari pada penunjukan arah model tersebut diatas, karena, kesalahan arah sebesar satu derajat saja untuk perjalanan sejauh 60 nautical miles, pesawat akan tersesat atau tersimpangkan sejauh 1 nautical mile. untuk kesalahan sebesar 2 derajat pada jarak 60 NM, pesawat akan tersimpangkan sebesar 2 NM, demikian pula jika pesawat menempuh jarak 120 NM dengan kesalahan arah sebesar satu derajat, pesawat akan tersimpangkan sejauh 2 NM. Dapat dihitung kemudian jika pesawat ter"deviasi" sebanyak 3 derajat pada jarak tempuh ratusan ,mile, maka pesawat akan tersesat sangat jauh.
Oleh sebab alasan itu, maka penunjukan arah dalam kegiatan navigasi digunakan sistem angka. Arah utara (merujuk atau mengarah ke kutub utara) disepakati sebagai arah nol derajat, arah timur dinyatakan sebagai arah 090 derajat, arah selatan (merujuk atau mengarah kutub selatan) disepakati sebagai arah 180 derajat, arah barat disebut arah 270 derajat dan dengan demikian, arah utara selain disebut sebagai arah nol derajat lazim pula disebut sebagai arah 360 derajat.
Dengan sistem angka ini, orang tidak lagi mengatakan pergi / terbang ke arah timur laut, tetapi pergi ke arah 25 derajat, atau 30 derajat, atau 40 derajat atau 70 derajat dan seterusnya.
pergi dengan arah 50 derajat berarti pergi dengan arah yang membentuk sudut 50 derajat dari acuan nol, yaitu 50 derajat dari garis acuan arah menuju kutub utara.
Arah-arah dengan acuan kutub utara bumi seperti tersebut diatas, disebut dengan arah TRUE. Disebut demikian, karena arah - arah dilakukan dengan mengacu pada kutub utara bumi sebenarnya.
Kelemahan penunjukan model ini adalah pada model navigasi konvensional, dimana peralatan canggih seperti GPS dan sebagainya belum digunakan, maka orang mengalami kesulitan untuk menunjuk arah TRUE NORTH yang pasti mengarah ke kutub utara bumi. Terlebih saat cuaca buruk, sehingga benda-benda langit tidak nampak, maka kesulitan untuk mendapatkan arah true nort sebagai referensi semakin besar.

Magnetic North
Salah satu cara untuk mendapatkan arah north / utara, adalah memanfaatkan magnet. batang Setiap magnet batang yang digantung bebas dan terbebas dari gangguan gelombang elektro maknetik, maka magnet tersebut akan menunjuk arah utara - selatan.
Hanya saja, yang perlu diingat, bahwa magnet batang tidak pernah menunjuk arah TRUE NORTH, atau menunjuk tepat ke arah kutub utara - selatan, karena setiap magnet batang yang tergantung bebas terkena medan magnet bumi dan mendapat daya tarik dari kutub magnet bumi. Kutub magnet bumi tidak satu posisi dengan kutub bumi.
Kutub utara magnet bumi terletak sekitar 1300 mile sebelah selatan kutub utara bumi, dan ke arah itulah batang magnet bumi mendapat gaya tarik.
Karena kutub utara bumi dan kutub utara magnet bumi tidak satu posisi, maka titik utara bumi (true north) berbeda posisi dengan titik utara magnetik bumi (magnetig north), sehingga penunjukan arah utara yang menggunakan batang magnet, harus dikoreksi jika ingin mendapatkan arah utara "true". Dampaknya adalah, semua penunjukan yang menggunakan alat bantu batang magnet, harus dikoreksi jika ingin mendapatkan arah sebenarnya (true direction). Besaran sudut koreksi yang digunakan untuk memberikan koreksi atas arah magnetic agar menjadi arah sebenarnya di bumi tersebut, diberi nama VARIATION.
Setiap posisi di muka bumi memiliki sudut variasi yang berbeda, tergantung posisi tempat itu terhadap kutub utara bumi serta kutub utara magnet bumi.
Variation berikut cara-cara perhitungannya agak sulit dituliskan di sini, tetapi banyak sumber yang dapat digunakan sebagai acuan untuk dapat memahami variation serta dampaknya bagi penunjukan arah dalam kegiatan navigasi.
Mudah-mudahan tulisan sekilas tentang arah ini dapat menjadi pangkal pijak untuk mempelajari sistem penunjukan arah dalam kegiatan navigasi selanjutnya.

Tentang Bumi (Serial Pengetahuan Navigasi)

Sebagaimana telah dibahas di bagian pendahuluan, bahwa jika kita mempelajari navigasi maka kita tidak mungkin membahasnya tanpa terlebih dahulu membahas masalah-masalah yang terkait dengan bumi, dimana kita berada dan dimana kegiatan navigasi akan dilakukan.

Kita hidup dan tinggal di permukaan bumi yang berbentuk bola. Memang pada kenyataannya, bumi tidaklah berbentuk bulat sempurna. Bumi agak cembung di wilayah equator dan sedikit mampat di kedua kutubnya, namun karena perbedaan diameter dari keduanya tidak terlalu signifikan, maka dalam semua perhitungan navigasi, bumi dianggap berbentuk bulat sempurna.

Ukuran sebenarnya, diameter bumi di wilayah equator adalah 7.926 miles (12.752 km) sedangkan diameter bumi jika diukur dari kutub ke kutub bumi adalah 7.900 miles (12.711 km). Info selengkapnya, lihat di :

http://encarta.msn.com/encyclopedia_761569459/Earth_(planet).html

Untuk diketahui, bahwa 1 miles (secara lengkap disebut statute mile) = 1.760 yards = 5.280 feet = 1.609,344 meter. Statute mile (st. mile) di dalam penerbangan / kegiatan navigasi biasanya digunakan untuk mengukur jarak yang cenderung perkiraan / estimasi, misalnya : jarak pandang, jarak awan ke bandara, dll.

Sedangkan untuk ukuran jarak yang lebih pasti, yang terukur, dalam kegiatan navigasi lebih banyak menggunakan satuan nautical mile (NM), misal : untuk jarak dari satu posisi ke posisi yang lain, kecepatan per jam dll. Satu nautical mile (1 NM) = 2.025 yards = 6.076 feet = 1.852 meter.

Garis-Garis Khayal di Bumi

Untuk kepentingan berbagai perhitungan dan kegiatan operasional penerbangan, kita memerlukan bantuan garis-garis khayal yang ada di bumi, agar penentuan posisi, perhitungan jarak dan lain sebagainya dapat dilakukan dengan cermat dan akurat.

Garis khayal pertama yang harus kita pahami adalah EQUATOR.

Equator adalah garis khayal yang bidang irisannya membagi bumi menjadi dua sama besar, yaitu belahan bumi bagian utara dan belahan bumi bagian selatan. Jika kita berdiri di equator, menghadap searah dengan arah kemana bumi berputar (menghadap ke arah dari mana benda-benda langit / matahari terbit) dengan kata lain kita menghadap ke arah timur, maka kutub / poros bumi sebelah kiri kita disebut kutub utara sekaligus sebagai acuan arah utara; kutub / poros bumi sebelah kanan kita disebut kutub selatan sekaligus sebagai acuan arah selatan dan arah dibelakang kita (lawan dari arah timur) adalah arah barat.

Arah Timur, Selatan, Barat dan Utara ini kemudian di navigasi disebut sebagai arah utama (cardinal direction) sedangkan arah tenggara, barat daya, barat laut dan timur laut disebut sebagai quadrantal direction.

Parallel of Latitude

Selanjutnya, baik ke arah utara maupun ke arah selatan, kita dapat membuat garis-garis khayal lain yang sejajar equator. Garis-garis khayal tersebut makin ke utara / ke selatan akan berbentuk lingkaran yang bidang irisnya sejajar equator namun luasnya semakin kecil dan akhirnya hanya berupa titik di kutub utara / selatan.

Garis-garis khayal yang sejajar dengan equator ini selanjutnya disebut dengan garis lintang atau Parallel of latitude. Jika kita anggap bahwa equator adalah titik nol, maka setiap parallel of latitude yang kita buat akan memiliki jarak terhadap equator. Dengan demikian, setiap parallel of latitude merupakan tempat kedudukan titik-titik yang berjarak sama terhadap equator., karena mereka sejajar dengan equator.

Jika jarak dari equator ini dinyatakan dalam satuan derajat, menit dan detik, maka parallel of latitude merupakan tempat kedudukan titik-titik yang memiliki jarak busur sama jika diukur dari equator. Jarak busur (dalam satuan derajat, menit dan detik) dengan patokan equator inilah yang disebut sebagai latitude.

Misal disebutkan bahwa Jakarta memiliki latutude 6 derajat South artinya Jakarta berjarak 6 derajat sebelah selatan equator. Jarak parallel of latitude terhadap equator dapat dinyatakan dalam satuan jarak (NM atau KM) maupun dalam satuan derajat busur. Jika jarak equator ke kutub (utara maupun selatan) dinyatakan dalam satuan derajat busur, maka jarak equator ke kutub utara / kutub selatan adalah 90 derajat. Untuk penjelasan lebih detail, lihat di :

http://www.encyclopedia.com/topic/latitude.aspx

Sejak tahun 1959, telah disepakati secara internasional bahwa tiap-tiap satu menit busur (1/60 derajat) kulit bumi, setara dengan satu nautical mile. Lihat :

http://encarta.msn.com/encnet/refpages/search.aspx?q=nautical+miles

Jika satu menit busur pada kulit bumi sama dengan satu nautical mile, yang berarti setiap perbedaan satu derajat garis lintang / parallel of latitude berjarak 60 NM, maka jarak equator (sebagai titik nol) ke kutub utara atau ke kutub selatan yang 90 derajat akan sama dengan 60 NM x 90 = 5400 NM.

Contoh 1: jika kita bergerak dari equator ke garis lintang 15 derajat North (bergerak dari equator ke arah 15 derajat utara / north) maka perjalanan yang kita lakukan akan menempuh jarak 60 NM x 15 = 900 NM

Contoh 2 : Jika kita bergerak dari garis lintang 45 derajat 30 menit South menuju 45 derajat 00’ menit South, itu berarti kita bergerak ke arah utara sejauh 30 menit busur lingkaran bumi. Jika satu menit busur bumi sama dengan satu nautical mile, maka perjalanan tersebut menempuh jarak 30 NM.

Di sisi lain, Jarak dari equator ke kutub utara maupun kutub selatan juga dapat dinyatakan dalam satuan kilometer. Antara tahun 1792 – 1799 ilmuwan Perancis mendefinisikan kilometer sebagai seper sepuluh ribu jarak antara equator ke kutub utara. Artinya, jarak equator ke kutub utara (tentu saja sama juga jarak antara equator ke kutub selatan) = 10.000 KM. lihat lebih lanjut di :

http://encarta.msn.com/encyclopedia_761561345/Metric_System.html

mengingat jarak equator ke kutub utara (atau kutub selatan) = 10.000 KM dan karena jarak equator ke kutub utara / selatan = 90o = 5400 NM , itulah mengapa 1 NM setara dengan 1,852 KM.

Meridians & Longitude

Garis khayal lain yang harus diperhitungkan ketika kita mempelajari navigasi adalah garis bujur (meridians), yaitu garis-garis khayal yang menghubungkan kutub utara dengan kutub selatan. Perlu diingat, bahwa garis meridian ini tidaklah sejajar satu sama lainnya sebagaimana halnya parallel of latitude.Garis meridian ini berawal dari satu titik di kutub utara maupun kutub selatan dan melebar di equator.

Garis-garis meridian ini memotong equator dengan tegak lurus. Jika pada garis lintang ada equator yang dijadikan titik nol perhitungan, maka pada meridian titik nol tersebut disebut dengan “prime Meridian” yaitu garis bujur (meridian) yang menghubungkan kutub utara dan kutub selatan melalui kota Greenwich di Inggris. Setiap titik di muka bumi, akan memiliki jarak tertentu dari garis prime meridian ini. Jika jarak tersebut dinyatakan dalam satuan derajat, menit dan detik, maka jarak tersebut disebut sebagai longitude.

Misal disebutkan bahwa Jakarta memiliki longitude 106 derajat East artinya Jakarta berjarak 106 derajat sebelah timur prime meridian. Prime meridians berikut pasangannya, yaitu meridian perpanjangan dari prime meridian ini (yang berada di samudra pacific) akan membagi bumi menjadi dua sama besar, yaitu belahan bumi timur dan belahan bumi bagian barat. Jika primemeridian dianggap sebagai titik nol, maka meridian pasangannya disebut “anti meridian” yang merupakan meridian 180 derajat, baik dilihat dari bumi belahan barat maupun dari belahan timur. Karenanya anti meridian disebut sebagai meridian 180 derajat E/W. anti meridian ini nanti pada saat kita membahas penanggalan akan disebut sebagai garis batas penanggalan internasional (international date line).

Minggu, 25 Januari 2009

Navigasi Udara

Pendahuluan
Dalam kegiatan penerbangan, pengetahuan dan keterampilan bernavigasi bagi semua pihak yang terkait dengan kegiatan penerbangan, sangat penting dan menentukan keberhasilan misi penerbangan itu sendiri.
Seorang pilot harus mahir bernavigasi, agar perjalanan pesawat yang dikemudikannya dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Seorang Flight Operation Oficer (FOO) harus mahir dan memahami pengetahuan navigasi, karena mereka harus mampu memberikan pelayanan dan dukungan operasional penerbangan kepada pesawat dan pilot yang dilayaninya. Bagi seorang ATC, AIS Officer, teknisi navigasi dan lain-lain, pengetahuan tentang navigasi juga sangat penting dan harus mereka kuasai dengan benar, karena dengan pengetahuan yang baik tentang navigasi, diharapkan mereka mampu memberikan pelayanan navigasi penerbangan secara optimal.

Lantas apa itu navigasi?
Navigasi berasal dari bahasa latin navis dan agere. Navis diartikan kapal, dan agere diartikan sebagai pekerjaan memindahkan atau menjalankan. Dengan itu navigasi pada umumnya diartikan sebagai "pengetahuan sekaligus seni memindahkan kapal dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi, sesuai rencana" (disarikan dari beberapa ensiklopedia)
Dari definisi tersebut diatas, didapat pemahaman bahwa pengetahuan navigasi merupakan ilmu pengetahuan sekaligus seni tentang kegiatan memindahkan kapal (dengan berbagai aspek yang terkait di dalamnya) dari pelabuhan laut satu ke pelabuhan laut yang lain, yang ada di muka bumi.

Navigasi Penerbangan
Dari definisi navigasi sebagaimana tersebut diatas, perkembangan pengetahuan kemudian membagi kegiatan navigasi menjadi setidaknya tiga matra utama, yaitu:
  1. Navigasi laut (sea navigation)
  2. Navigasi darat (ground navigation)
  3. Navigasi udara / penerbangan (Air navigation)
Sementara sebagian orang ada yang menambahkan dengan yang ke empat, sesuai trend perkembangan teknologi yang paling mutakhir, yaitu "Outer space navigation" yaitu ilmu navigasi antar planet di tatasurya, dll.
Navigasi Udara atau Air navigation sering disebut dengan kata "Aviation" yang berasal dari Aves (burung) + agere
Dalam UU no 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, disebutkan bahwa : "Navigasi Penerbangan adalah proses mengarahkan gerak pesawat udara dari satu titik ke titik yang lain dengan selamat dan lancar untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan penerbangan"
Dengan demikian, ada beberapa unsur pengetahuan yang harus dipahami ketika akan mempelajari Navigasi Udara, yaitu :
  1. Pesawat Udara, sebagai sarana untuk kegiatan penerbangan
  2. Lokasi / posisi di muka bumi, sebagai tempat dimana kegiatan penerbangan dilakukan.
  3. Perencanaan Penerbangan (Flight planning) sebagai safety culture yang dikembangkan oleh masyarakat penerbangan, agar kegiatan penerbangan dapat berlangsung dengan selamat, lancar, efektif dan efisien.
Cara berNavigasi
Dalam melakukan kegiatan navigasinya, seorang penerbang (pilot) pada umumnya melakukan dengan cara :
  1. Pilotage Navigation, dengan cara ini seorang pilot melakukan kegiatan navigasi penerbangannya dengan mengandalkan kemampuan mata (visual). Misalkan mereka terbang dari Jakarta ke Surabaya, maka sepanjang jalur penerbangan, sepanjang kegiatan antara Jakarta - Surabaya yang dilakukannya, sang pilot harus mengandalkan kemampuan matanya sendiri (visual) untuk mengetahui posisinya, menghindari bahaya / rintangan di sepanjang jalan, dan lain-lain sampai mendarat di Surabaya.
  2. Radio / Instrument Navigation, dengan cara ini seorang pilot melakukan kegiatan navigasi penerbangannya dengan bantuan radio instrument navigasi (navigational radio aids).yang ada disepanjang jalur penerbangannya, maupun yang ada di ruang pemanduan lalu lintas penerbangan (ruang control ATC). Misalkan pesawat terbang dari Jakarta ke Surabaya, maka sepanjang jalur penerbangan, sepanjang kegiatan antara Jakarta - Surabaya yang dilakukannya, sang pilot akan mendapat bantuan dari ATC yang memanfaatkan radar, serta alat bantu navigasi lainnya yang dipasang di sepanjang jalur, yang dengan itu akan membantu pilot untuk mengetahui posisinya, menghindari bahaya / rintangan di sepanjang jalan, dan lain-lain sampai mendarat di Surabaya.
  3. Dead Reckoning Navigation adalah cara navigasi dengan menghitung diatas kertas berbagai hal (termasuk estimasi lama terbang, lintasan yang akan dilalui, kebutuhan bahan bakar, dll) sehingga pilot seolah-olah telah mengetahui dengan baik kondisi yang akan dijalaninya.
Pada umumnya, cara bernavigasi sebagaimana tersebut diatas tidak dilakukan secara independent, lepas berdiri sendiri, tetapi merupakan gabungan dari berbagai model atau cara bernavigasi, untuk menutup kekurangan masing-masing cara sekaligus menggabungkan kekuatan masing-masing cara bernavigasi.

Tanggung Jawab ATC
Pemandu lalu lintas udara (Air Traffic Contrller/ATC) bertanggung jawab untuk melayani kegiatan penerbangan sesuai fungsinya, dengan tujuan agar pesawat-pesawat yang melakukan kegiatan penerbangan :
  1. mendapatkan jaminan tidak tabrakan satu sama lain baik di udara maupun di landasan pacu di bandar udara, termasuk juga tidak menabrak penghalang-penghalang yang ada di sekitar landasan pacu
  2. mendapatkan jaminan bahwa kegiatan terbangnya dapat berlangsung secara lancar, dan teratur sampai tujuannya.
  3. mendapatkan jaminan bahwa dalam kegiatan terbang tersebut (saat tinggal landas, sepanjang jalur penerbangan maupun saat menjelang mendarat) telah mendapatkan informasi yang valid dan reliable untuk mendukung keselamatan penerbangannya
  4. mendapatkan jaminan bahwa kegiatannya dimonitor terus menerus oleh ATC sehingga sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, ATC dapat memberitahukan / menginformasikan dengan segera ke petugas SAR akan masalah yang dihadapi pilot yang terbang tersebut.
Pembagian tanggung jawab ATC - Pilot dengan cara bernavigasi tersebut diatas adalah:
  1. Jika pilot menyatakan (dan harus menyatakan dalam flight plan) bahwa dirinya melakukan terbang secara visual, yang berarti sepenuhnya mengandalkan mata, maka tanggung jawab ATC terbatas pada pemberian informasi penerbangan dengan lengkap serta jaminan monitoring oleh ATC. sedangkan tugas menghindari tabrakan dengan pesawat lain, bernavigasi dengan benar, dsb. sepenuhnya menjadi tanggung jawab pilot.
  2. Jika pilot menyatakan terbang dengan mengandalkan alat bantu instrument, disini ada dua hal:
  • Jika ATC tidak menggunakan fasilitas radar (non radar control) maka jaminan terhindar dari tabrakan, jaminan terbang dengan lancar dan teratur, jaminan mendapatkan informasi secara lengkap serta jaminan monitoring akan diberikan oleh ATC, sedang pilot bertanggung jawab atas pengoperasian pesawat terbangnya serta kegiatan navigasinya. Artinya, jika dalam kondisi ini pesawat tabrakan dengan pesawat lain, maka kemungkinan besar kesalahan ada pada ATC jika pilot telah mengikuti semua petunjuk dan perintah ATC dengan benar. sebaliknya jika pesawat tersesat jalan, salah jalur, dsb. maka kemungkinan besar adalah kesalahan pilot.
  • Jika ATC menggunakan fasilitas radar dan dinyatakan sebagai radar control, maka tanggung jawab menghindari tabrakan antar pesawat, tanggung jawab pemberian informasi dan juga monitoring kegiatan operasi serta navigasi penerbangannya ada pada ATC. pilot hanya bertanggung jawab untuk mengoperasikan pesawatnya saja agar dapat berjalan dengan baik. Jadi, jika dalam pemanduan ATC radar pilot tersesat jalan, salah jalur, dan sebagainya, hal tersebut menjadi tanggung jawab ATC untuk melakukan koreksi.
Faktor - faktor yang akan mempengaruhi kegiatan navigasi pada umumnya adalah masalah posisi di darat (di muka bumi), kecepatan pesawat terbang pada berbagai ketinggian terbangnya, serta pengaruh pergerakan udara (angin). Hal-hal inilah yang nanti akan mendominasi diskusi kita selanjutnya, disamping perhitungan waktu, rencana penerbangan (flight plan) dan lain sebagainya.