Sabtu, 30 Juni 2007

Minta Maaf Pada Orang Yang Menipu Kita


Terus terang, ketika saya dapat kiriman email dari sahabat saya tentang ajakan untuk meminta maaf pada orang-orang yang telah menipu kita, saya bingung.
Kalau ajakan untuk memaafkan orang-orang yang telah menipu kita, itu jelas sering saya dengar, baik dari ajaran agama maupun dalam pelajaran kehidupan sosial sehari-hari, tetapi minta maaf pada mereka?
Dalam kebingungan dan keraguan saya terhadap ajakan itu, saya ingat kejadian beberapa tahun yang lalu di Vancouver – Canada, ketika saya dengan ceroboh menginjak kaki seorang Ibu yang berdiri di belakang saya.
Dalam kekagetan saya atas kejadian itu dan sebelum saya meminta maaf kepadanya, ternyata dia telah lebih dulu meminta maaf kepada saya.
”Kenapa anda meminta maaf pada saya” tanya saya kepadanya, dengan penuh keheranan.
”Saya melakukan kesalahan dengan berdiri pada posisi yang membuat anda dapat menginjak saya. Kalau saya hati-hati, tentunya anda tidak akan menginjak saya.” jawabnya.
Saya terheran-heran dengan argumentasinya.
Kalau kaki saya yang terinjak orang, argumentasinya tentu lain lagi! Kalau saya memaafkan orang yang menginjak kaki saya dengan cepat, itu sudah hebat. Orang ini sudah saya injak kakinya, kesakitan, malah minta maaf dengan argumentasi keteledorannya berdiri di dekat saya.
Kawan, dalam kehidupan kita ini jika dipandang melalui konsep Ketuhanan, semua kejadian dalam bentuk apapun, tidak ada istilah kebetulan. Semua kejadian yang kita alami hanya mungkin terjadi, semata-mata karena ijin-Nya.
Selanjutnya, kita juga harus sadar, bahwa kejadian demi kejadian yang terjadi dan menimpa kita, juga bukanlah suatu kebetulan, hal – hal itu terjadi tidak lain merupakan akibat dari apa yang telah kita lakukan sebelumnya.
Kalau ada orang yang menipu kita, pastilah itu juga bukan suatu kebetulan, melainkan akibat dari apa yang telah kita lakukan sebelumnya sehingga orang tersebut berkesempatan melakukan penipuan terhadap kita.
Kita ditipu, karena si penipu begitu mampu meyakinkan kita bahwa apa yang dilakukannya akan memberikan keuntungan (dalam bentuk apapun) kepada kita. Kita terbuai dengan janji-janji yang diberikannya, kemudian kita tanpa pertimbangan masak-masak meng-iya-kannya, itulah kesalahan kita.
Kita salah, karena pertimbangan yang sempit tersebut, membuat ”dia” terjerumus untuk berbuat kesalahan, yaitu menipu diri kita.
Seandainya kita teliti, kita penuh pertimbangan, kita arief dan bijaksana dalam bertindak, maka kita tidak tertipu. Dengan kata lain, sekiranya bukan karena keteledoran kita, maka kita tidak akan memberikan kesempatan pada orang tersebut untuk melakukan kesalahan yang merugikan reputasinya. Nah, makanya atas kesalahan itu kita perlu meminta maaf kepadanya, kepada orang yang telah menipu kita.
Saya sangat setuju dengan ajakan ini, karena dengan kesadaran tersebut, kita menjadi semakin dewasa dalam menghadapi suatu peristiwa. Kita akan menjadi semakin pintar dan ’dingin” dalam menghadapi semua peristiwa yang menimpa.
Kesadaran ini akan membuat kita tidak mudah menyalahkan orang lain, karena adanya kesadaran bahwa semua kejadian pasti atas ijin yang Maha Kuasa, yang dilakukan-Nya semata-mata dalam rangka membuat kita menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Dengan demikian, maka kita akan selalu waspada dan hati-hati, agar orang lain tidak melakukan kesalahan karena keteledoran yang kita perbuat.

2 komentar:

Capt. Hadi Supriyono, MM, M.Mar mengatakan...

Dear pak Wisnu,

Saya tambahin sedikit ceritanya ya pak......boleh kan?

Beberapa tahun yang lalu waktu saya di PIP Semarang, kami sedang mensosialisasikan trend baru (saat itu) yaitu membudayakan 'look at you self, instead of: to blame other peoples'. Mungkin kalau di jawakan jadi singkat 'ojo gampang maido wong liyo'.

Karena kebanyakan orang lebih enak menyalahkan orang lain dari pada menyalahkan diri-sendiri, waktu itu ada yang komentar katanya kita ini salah asuhan......tuh kan?! malah nyalahin ortu nya?! Katanya waktu kecil kalau dia nangis karena kesandung batu, ibunya bilang:"yang nakal siapa nak? ooo...memang batunya yang nakal. biar nanti ibu buangnya ke sungai". Kalau dia nangis karena dimarahin kakaknya waktu mengganggu kakaknya sedang belajar, ibunya bilang:"siapa yang nakal nak? kakak nakal ya? biar nanti ibu kasih jamu yang pahit?....dll.....dll. Jadi menurut dia, budaya menyalahkan itu sudah diberikan anak2 sejak kecil...

Kalau di Kanada pengalaman pak Wisnu seperti itu, mungkin dia satu guru dengan saya. tapi bukan teman sekelas lho..he...he..he...

Begini, dulu dalam mensosialisasikan di Semarang, saya sering sampaikan: kalau hanya bisa 'maido' (menyalahkan orang lain) ga usah sekolah tinggi2. Maksud saya, sebenarnya mencari apalagi memutuskan kesalahan diri sendiri itu lebih sulit dari pada mencari atau mengatakan (ngarani) kesalahan orang lain. Orang di Kanada itu merasa lebih pinter/terhormat kalau dia minta maaf karena dia yang 'lebih dulu mengerti kesalahannya' (kalau di Indonesia orang itu sama dengan bilang: goblok kamu!). Tapi dengan cara minta maaf, pak Wisnu kan ga merasa dibilang lebih goblok? Hebat kan? Kalau dalam bisnis sering dibilang "Win-Win solution"...kalau dalam kasus tabarakan 2 buah kapal, 99,99% keputusan pengadilan adalah "Both to Blame" dan selama ini tidak pernah ada yang menolak keputusan "Both to Blame" tersebut.

Unknown mengatakan...

Pak...apa orng tu akn berubh tdk akan menipu kita lgi klo qta mnta maaf duluan...skrng sya dihadapkan dng saudara ipar saya yg menipu dng menggelapkan sebagian dana usaha saya...saya bingung hrus bgmn?marah pasti...tp stlh saya baca diatas akhirnya sya mau bljar iklas cm masih ada kekhawatiran apakah dy tdk akan mnipu lgi.