Biasanya, dalam proses transformasi tersebut akan didapat perubahan yang berupa:
- Semula tidak tahu, tidak mengerti, tidak paham menjadi tahu, menjadi mengerti dan paham terhadap sesuatu yang dipelajari
- Yang semula tidak mampu melakukan, tidak atau kurang terampil mengerjakan sesuatu menjadi mampu melakukan sesuatu, menjadi terampil mengerjakan suatu pekerjaan tertentu sesuai yang dipelajari tersebut
- Semula tidak biasa (berkaitan dengan perilaku), tidak suka, dll. menjadi biasa, menjadi suka, dll.
Contohnya, seorang Guru SD yang bertugas mendidik anak-anak agar mampu membaca tulis, maka tugas utama sang guru adalah merubah Si Murid dari tidak dapat tahu abjad menjadi tahu, mengerti, mampu membedakan, dan mampu memahaminya sampai dengan merangkainya menjadi kata dan kalimat. Juga harus merubah dari tidak dapat menulis menjadi mampu dan terampil menulis, serta dari tidak suka membaca menjadi suka membaca. Jikalau anak setelah sekian lama belajar dan tetap tidak ada perubahan pengetahuan, keterampilan dan perubahan kebiasaannya, pendidikan tersebut dapat dinyatakan gagal.
Masalahnya, dalam proses kegiatan pendidikan, sebagaimana minum obat, ada juga efek samping atau "side effek" yang sering terabaikan oleh kelompok pengajar. Efek samping proses pendidikan inilah yang disebut dengan "hidden Curriculum". Efek samping tersebut baru akan tampak ketika peserta didik terjun di lingkungan masyarakat. Jika efek sampingnya menyolok maka kondisi yang bersangkutan ketika di lingkungan masyarakat akan menyolok pula, demikian pula sebaliknya.
Ada beberapa institusi pendidikan yang menekankan "disiplin keras" pada peserta didiknya, dengan tujuan agar para lulusannya nanti menjadi orang - orang yang tangguh, disiplin tinggi, berani menghadapi berbagai rintangan dengan tegar, tidak takut menghadapi situasi apapun, bertanggung jawab dan lain sebagainya. Dalam pendidikan yang menekankan "disiplin keras" sudah tentu berlaku "hukuman keras" untuk mereka yang dianggap melanggar disiplin. Dalam proses pendidikan seperti itu, tidur dan bangun tidur jelas harus sesuai waktu yang telah ditentukan, mandi sekian menit, berpakaian sekian menit, makan sekian menit, juga masalah baris berbaris dan lari merupakan kegiatan rutin sehari-hari.
Menyenangkan melihat anak-anak muda memiliki disiplin tinggi seperti itu, tetapi .......... kembali masalah hidden kurikulumnya sering terabaikan dan tidak banyak terfikirkan oleh para pendidiknya. Mereka-mereka yang "merasa" memiliki disiplin tinggi karena didikan yang keras merasa atau berpikiran bahwa orang-orang yang tidak seperti dia berarti tidak disiplin. Oleh karenanya mereka kemudian menganggap para YUNIOR yang baru datang adalah kelompok orang-orang yang tidak disiplin dan harus mendapat hukuman keras. Semua orang yang tidak berperilaku seperti dia, dianggapnya tidak disiplin dan mereka pantas dihukum keras. Hidden Curriculum pendidikan keras adalah kekerasan.
Ada banyak cara dalam proses transformasi agar orang menjadi bertanggung jawab, memiliki disiplin tinggi, menjadi tegar, ulet dan mandiri. Pada jaman dulu, guru SR (sekolah rakyat / SD) membawa rotan keliling kelas untuk membuat anak-anak rajin belajar, siapa malas pasti pulang dengan tangan biru kena sabetan rotan Bapak atau Ibu Guru. Seiring dengan perkembangan metodologi pendidikan dan pengetahuan para Guru, rasanya tidak ada lagi Guru membawa rotan dan memukuli anak muridnya, dan nyatanya anak-anak setidaknya tidak kalah pintar dari para SENIORnya dulu.
Para pendidik seyogyanya mencari cara dan strategi yang tepat untuk melaksanakan proses pendidikan, dengan menekan sesedikit mungkin efek samping yang ditimbulkan. Efek samping (hidden curriculum) sejauh ini tidak dapat dihilangkan, hanya dapat dikurangi dan ditekan. Karenanya, sekiranya institusi pendidikan tertentu merasa bahwa kebijakan "pendidikan keras" harus tetap dijalankan, maka para pendidik, para pembina harus berusaha agar efek samping yang timbul tidak sampai "meracuni" anak didik, yang berdampak mengancam kehidupan institusi itu sendiri. Salam.