Rabu, 18 Juli 2007

Sekolah Unggulan Vs Murid Unggulan

Minggu ini tahun ajaran baru untuk SD, SMP dan SMA sudah dimulai, meskipun untuk mereka yang mau masuk perguruan tinggi, masih harus tahan napas karena proses seleksi masuk perguruan tinggi belum lagi selesai.
Beberapa hari lalu banyak orang tua murid disibukkan untuk mencari sekolah yang bagus - bagus. Mereka berebut agar dapat mendaftarkan dan menyekolahkan putra - putrinya ke sekolah-sekolah yang dianggap bagus tersebut, yang banyak disebut sebagai sekolah unggulan.
Masalahnya sekolah unggulan itu apa?
Apakah sekolah yang hanya mau menerima anak-anak yang unggul, atau sekolah yang mampu merubah anak yang tadinya biasa - biasa saja menjadi anak yang unggul?
Peran sekolah pada dasarnya adalah tempat untuk melakukan tranformasi, sehingga mampu merubah anak manusia dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mampu melakukan "sesuatu" menjadi mampu melakukan "sesuatu", dari tidak biasa menjadi biasa, dari tidak biasa bersama menjadi mampu hidup dan bekerja bersama.
Ketika anak yang mau memasuki sebuah sekolah harus mengikuti test yang berlapis, dengan seleksi yang sangat ketat dan melebihi batas kemampuan wajar (misal, untuk masuk SD di uji bahasa Inggris) maka sekolah tersebut akan menerima anak-anak yang unggul, tetapi sekolahnya sendiri apakah unggul?
Sebaliknya, jika suatu sekolah mau menerima anak-anak yang kemampuannya biasa-biasa saja dan kemudian karena manajemen sekolah yang bagus, mereka mampu mengubah anak - anak tadi menjadi berkualitas unggul, sekolah mana sebenarnya yang sekolah unggulan?
Saya bersyukur, anak-anak saya telah melampaui tahap rebutan sekolah unggulan tersebut, namun selama ini mereka sekolah di sekolah-sekolah yang biasa-biasa saja, biayanya tidak mahal-mahal, gurunya sederhana, tetapi ternyata mereka mampu menjadi orang-orang yang mandiri dan saya bangga jadi orang tua mereka. Salam

1 komentar:

Rudyanto mengatakan...

Yth. Pak Wisnu,
Selamat atas publikasi blog-nya, semoga sukses selalu.
Sekolah unggul menurut saya tidak hanya dilihat dari murid-muridnya yang hebat saja, tetapi juga sekolah yang memperhatikan kesejahteraan guru, fasilitas sekolah, berwawasan lingkungan (misal CSR), dsbnya.
Memang sudah latah bagi para orang tua yang begitu bernafsu memasukkan anaknya di sekolah unggulan, apalagi kalau orangtua yang cukup mapam (berduit).
Memang untuk ukuran sekolah unggul memang ada dua kriteria: money & smart.
Paradoks yang terjadi, bagaimana dengan anak pintar tapi tak mampu?
Akibatnya, piramid kelompok tersisih (paling bawah) makin melebar.
Semoga saja, semua petinggi-petinggi yang memiliki kepentingan terhadap pendidikan manusia Indonesia masa depan selalu bisa memperhatikan masalah pendidikan di Indonesia.
Salam, Rudyanto